Elmadani.id | Jakarta_Indonesia memang sedang adu urat syaraf melawan China di Natuna Utara.
Apalagi China mengklaim Natuna Utara merupakan miliknya dan Indonesia harus berbagi hak dengannya.
Indonesia jelas menolak klaim China di Natuna Utara.
Indonesia tak mau menerima klaim China tersebut.
Karena Indonesia memang tak akan berkompromi menyoal kedaulatan.
China sendiri mengklaim Natuna Utara berdasarkan faktor historis.
Pada Dinasti Ming disebutkan bahwa Natuna bernama Anbuna.
Dimana penamaan Anbuna diberikan oleh laksamana Zheng He alias Cheng Ho.
Cheng Ho menjadikan Natuna sebagai pangkalan angkatan laut dinasti Ming di Selatan jauh.
Dijadikannya Natuna sebagai pangkalan AL, membuat posisinya sangat diperhitungkan.
Karena pulau tersebut punya posisi strategis yang mengatur lalu lintas laut di sekitarnya.
“Sebelum Dinasti Han, orang dahulu menyebut tempat ini Zhanghai, yang disebut Kepulauan Natuna sebagai Zhanghai Qitou dan menyebut Pulau Natuna sebagai Qitou Besar.
Karena lokasi lalu lintasnya, Dajiqitou digunakan oleh armada Zheng He sebagai pos pos pertama di laut, yang mengawali sejarah pengelolaan Kepulauan Natuna oleh Tiongkok,” jelas 163.com pada 16 Maret 2022.
Kejayaan Zheng He kemudian diteruskan oleh Zhang Jiexu yang membawa sekitar 300 orang sempalan dinasti Ming ke Natuna karena menghindari klan Qing yang mengejarnya.
Di sana Zhang mendirikan kerajaan kecil untuk meneruskan apa yang sudah dibangun oleh Zheng He.
“Zhang Jiexu memonopoli bisnis pemasokan para penggali emas ini dengan mengendalikan dermaga air dan darat di sini jadi dia mendapat kekayaan materi yang sangat besar.
Akibat mengendalikan lokasi lalu lintas khusus Kepulauan Natuna, perusahaan Nanhua di bawah kepemimpinan Zhang berkembang dengan bantuan industri pelayaran laut yang sibuk di dekatnya, dan jumlah penduduk China di pulau itu meningkat pesat, menjadi tempat persinggahan yang terkenal,” papar 163.com.
Zaman lantas berganti, Belanda datang menjajah Nusantara sekalian merebut Natuna dari dinasti Ming hingga 17 Agustus 1945 Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berkumandang, memasukkan Natuna kedalam bingkai NKRI.
Karena sebab inilah China masih menuntut haknya di Natuna Utara.
Contohnya pada 31 Desember 2019 lalu Jubir Kemenlu China Geng Shuang menegaskan bila negaranya memang punya hak di Natuna Utara.
“Penjaga Pantai China menjalankan tugasnya dengan melakukan patroli untuk menjaga ketertiban laut dan melindungi hak dan kepentingan sah rakyat kita di perairan yang bersangkutan.
Duta Besar kami untuk Indonesia menegaskan kembali posisi konsisten China di pihak Indonesia,” katanya dikutip dari thinkchina.sg pada 24 Februari 2020.
Tapi Indonesia melawan klaim China ini dengan cara terstruktur.
Indonesia melaporkan klaim Nine Dash Line ke pengadilan arbitrase internasional dan dunia menolak klaim China tersebut.
“Indonesia mengatakan bahwa jika tidak dapat menyelesaikan perselisihan dengan China di perairan Kepulauan Natuna di Laut China Selatan, Indonesia dapat menggunakan jalur Pengadilan Internasional untuk menyelesaikannya,” tulis thepaper.cn.
Geng Shuang lantas pada 20 Januari 2020 menanggapi sinis hasil putusan arbitrase internasional tentang klaim Nine Dash Line.
“Apa yang disebut putusan arbitrase Laut China Selatan adalah ilegal, batal demi hukum dan kami telah lama menjelaskan bahwa China tidak menerima atau mengakuinya,” kata Geng dikutip dari thinkchina.sg.
Menurutnya klaim Nine Dash Line sesuai dengan UNCLOS PBB.
Maka mau Indonesia menerima atau tidak bukan urusan China.
“Saya ingin menekankan bahwa posisi dan proposisi China sesuai dengan hukum internasional, termasuk UNCLOS.
Jadi apakah pihak Indonesia menerimanya atau tidak, tidak ada yang akan mengubah fakta objektif bahwa China memiliki hak dan kepentingan atas perairan yang bersangkutan (Natuna Utara)” jelas Geng.
Yang pasti China akan menentang semua pihak yang menolak klaim Nine Dash Line.
“Pihak Tiongkok dengan tegas menentang negara, organisasi, atau individu mana pun yang menggunakan putusan arbitrase yang tidak sah untuk merugikan kepentingan China,” tegasnya.
Ribut-ribut soal Natuna Utara diprediksi akan berbuntut panjang.
Sebab China seperti yang sudah dijelaskan masih ngotot mempertahankan klaimnya.
Hal ini juga memancing Amerika Serikat (AS) untuk bergerak.
AS yang punya kepentingan di Asia menegaskan akan membantu Indonesia mempertahankan Natuna Utara.
“Kerja sama keamanan adalah pilar utama kemitraan strategis kami.
Amerika Serikat bangga menjadi mitra pertahanan terbesar Indonesia dalam hal jumlah latihan dan acara tahunan di mana kita berpartisipasi bersama.
Kerja sama kita dalam kontraterorisme dan dalam melawan ekstremisme kekerasan juga merupakan komponen penting dari upaya bersama kita untuk membangun dunia yang lebih aman.
Kami mendukung upaya kuat Indonesia untuk menjaga hak maritimnya dan melawan agresi RRT di Laut Cina Selatan, termasuk di zona ekonomi eksklusifnya di sekitar Kepulauan Natuna,” tegas state.gov.
Bukan cuma AS, saudara tua Indonesia juga berkunjung ke tanah air untuk menyatakan sikap mendukun Indonesia mempertahankan kedaulatannya.
Juga mendukung pencegahan atas meluasnya pengaruh China di Asia Tenggara.
Ia adalah Jepang.
Situs iask.ca pada 3 Mei 2022 melaporkan jika PM Jepang Fumio Kishida mengunjungi Indonesia pada 29-30 April 2022.
Kishida menegaskan jika negaranya siap membantu Indonesia dan Vietnam dalam melawan pengaruh China di wilayahnya masing-masing.
“Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida akan mengunjungi Asia Tenggara pada tanggal 29 April, mencoba untuk mengkoordinasikan kawasan dan Hitachi untuk menanggapi situasi di Rusia dan Ukraina, dan untuk melawan pengaruh China di kawasan tersebut.
Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida mengunjungi Indonesia, Vietnam dan Thailand satu demi satu dari 29 April hingga 2 Mei, dan mengadakan pembicaraan dengan para pemimpin dari berbagai negara.
Dia kemudian akan mengunjungi Eropa,” lapor iask.ca.
Iask.ca menjelaskan bahwa peran Jepang diperlukan Indonesia dan negara lainnya agar AS dan China tak ribut di wilayah masing-masing.
“ASEAN akan menggunakan komitmen AS terhadap negaranya, dan sejauh mana sekutu AS memastikan komitmen AS terhadap negaranya, sebagai ukuran faktor penting yang menentukan arah kebijakannya.
Negara-negara seperti Filipina, Singapura, Vietnam, Indonesia , dll yang memiliki komitmen tinggi terhadap Amerika Serikat dalam hal keamanan dan ekonomi regional, akan cenderung memiliki kebijakan yang berpihak pada Amerika Serikat,” ujar profesor dari Nanyang Technological University Singapura, Ko Heqing.
Jepang sampai melakukan perjanjian transfer teknologi pertahanan agar Indonesia memiliki kemampuan lebih menghadapi China di Natuna Utara.*